9jqevJBodSbbMfiMLP15Z2iuLHJ07dWxMRgBhW0R
Bookmark

Pemikiran Washathiyah dalam Turats Pesantren

     


     Menurut Syed M. Naquib al-Attas  kedatangan Islam yang masuk ke kepulauan Nusantara dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para pendakwah Islam yang hebat, termasuk Walisongo (Lihat : Syed Muhammad Naquib al-Attas : Historical Fact and Fiction) Sehingga Islam menjadi agama yang saat ini dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Pada awal penyebarannya, islam sangat di junjung tinggi, diakui sebagai agama yang toleran dan adil, dapat hidup berdampingan dengan agama lain di sekitarnya. Seiring berkembangnya waktu, timbul beberapa paham yang Ghuluw (ekstrim), yaitu kelompok yang berlebihan dalam memahami teks syari’at, mengkafirkan sesama muslim, juga berlebihan dalam menggunakan akal. 

     Paham yang melenceng ini akan menimbulkan teror di antara kita, menimbukal keresahan bagi masyarakat, merusak aqidah maupun kehidupan bernegara, terutama kejadian – kejadian yang dapat menimbulkan korban jiwa, semua ini menimbulkan labelisasi miring dikalangan masyarakat bahwa islam bukanlah agama yang toleran, melainkan agama teroris.  

     Maka sangatlah penting memahami apa akar radikalisme dan era disrupsi, bagaimana cara kita menanamkan pemikiran yang menengah, tidak terlalu keras dan longgar dalam agama. 

      Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 

1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain)

2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah)

3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya)

 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).  

     Islam radikal adalah istilah yang diberikan kepada kelompok-kelompok yang beraliran keras dalam menuntut penegakan syariat dengan jalan yang dianggap sebagai jihad. ( Suprihatiningsih,: Spiritualitas Gerakan Radikalisme Islam di Indonesia )  

      Menteri Agama Fachrul Razi bicara mengenai disrupsi di era industri 4.0 dan tantangan keagamaan bangsa Indonesia. Menurut Fachrul, konten radikal kini lebih mudah diikuti tanpa adanya konsultasi keagamaan. Era disrupsi meniscayakan keahlian media sosial secara online sehingga memudahkan kita untuk mengakses apapun dengan gampang. Konten keagamaan yang radikal dan ekstrem yang bertebaran di medsos mudah diikuti tanpa adanya konsultasi dengan otoritas keagamaan tradisional dan nasional yang ada. (news.detik.com 13 Nov 2019). 

      Pelencengan faham dalam islam terjadi sebab beberapa golongan yang literatis, yaitu mereka yang terlalu berpaku pada dzohir nash seperti kelompok hasywiyyah dan golongan yang terlalu liberalis, yaitu kelompok yang ekstrim menggunakan akal sehingga sampai melawan dalil al-qur’an yang qoth’i. 

     Kelompok – kelompok ini dijelaskan oleh imam al-ghozali dalam kitabnya AlIqtishod Fi Al-I’tiqod. 

      Pemahaman kedua kelompok ini merupakan ketidakseimbangan dalam memahami syari’at islam. Untuk menengahi hal ini, imam asy’ari telah menerangkan akidah yang menyeimbangkan antara akal dan naql, menempatkan keduanya pada tempatnya dengan menggunakan kaidah taqdimun naql ‘alal ‘aql. (cari kitab yang menerangkan kaidah ini). Dengan begitu syari’at tidak ditinggalkan demi memenuhi keniscayaan aqal, dan akal tidak di tolak semata-mata untuk memenuhi dzohir nash. 

      Diantaranya lagi ialah kaum pembenci para sahabat yang masih eksis hingga saat ini, yaitu syi’ah terutama syi’ah rofidhoh. Mereka adalah kaum yang membangun akidahnya diatas kebencian terhadap para sahabat dan juga umat islam ahlussunnah waljamaah (Lihat : Media Aswaja Edisi 96). 

     BNPT (Badan Nasional Pemberantas Teroris) sempat membahas mengenai penyebaran redikalisme. Survei PM3 pada kurun 29 sept – 21 okt 2017 menyimpulkan bahwa empat puluh satu masjid di lingkungan pemerintah terpapar radikalisme. Mereka melakukan tindak lanjut pada takmir 41 masjid tersebut dengan membina mereka agar berfaham moderat. Seakan ini merupakan solusi, padahal faham tersebut mengacu pada pemikiran sarjana – sarjana barat yang merujuk pada liberalisme yang jelas menyesatkan. Tetapi memang, moderatisme pemikiran barat itu semacam tool untuk agenda liberalisme, sebagaimana yang dilampirkan oleh Kholili Hasib dalam salah satu tulisannya (Lihat : Kholili Hasib : Wasathiyah dalam pemikiran) 

      Istilah yang lebih tepat untuk pemikiran yang seimbang dan adil adalah washatiyah, karena memiliki makna yang condong pada keadilan. Bedahalnya dengan islam moderat yang menerima kultur demokrasi, mendukung sistem politik demokrasi, dan mendukung HAM (termasuk dalam kesetaraan gender dan kebebasan beribadah). 

      Istilah washathiyah berasal dari al-qur’an, tercantum dalam surah albaqarah ayat 143. “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah: 143). 

      Jadi, makna umat yang wasatiyah menurut ayat tersebut adalah, sikap seimbang antara materi dan non-materi, adil menunjukkan kebaikan. Lebih jelasnya umat yang adil, proporsional dalam beragama, bukan ghuluw (ekstrim) dan bukan tasahul (meremehkan). (Kholili Hasib : Washathiyah dalam pemikiran) 

      Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ( Lihat : Muhammad Idris Usman : pesantren sebagai lembaga pendidikan islam). Pesantren dalam memegang agama bersifat tengah – tengah (washatiyah), penyemaian pendidikan keagamaan yang demikian ini adalah sumbangan terbesar yang diberikan oleh pesantren. 

     Banyak sekali kitab yang ditinggalkan oleh ulama salaf beraliran sunni – asy’ariy yang menerangkan pemikiran washathiyah, diantaranya Al-iqtishod fil I’tiqod karangan Imam Al-Ghozali dan Al-Ibanah karangan Imam Asy-‘Ariy. 

      Selain pesantren, peran masyarakat terutama mahasantri yang merupakan lulusan pesantren juga tidak kalah penting dalam menanggulangi kelompok berfaham radikal dan ekstrim. Membahas dan mengenalkan bahaya faham tersebut dalam pengajian, terutama memanfaatkan medai internet yang sedang berkembang pesat di era disrupsi saat ini. 

      Jadi islam radikal merupakan pemikiran keras dan berbahaya, sebagian mereka terlalu mengedepankan akal, dan sebagian lain terlalu berpacu pada terks al-qur’an. Menghadapi hal ini, pondok pesantren dan masyarakat sangat berperan dalam menjelaskan faham washathiyah guna meredam faham mereka. 


#Oleh Ahmad Husaini / jambi



Post a Comment

Post a Comment