Oleh : Husaini
(Mahasantri Ma’had Aly Darul Ihya Li Ulumiddin Bangil)
“ sebab Allah selaloe berda di pihak jang benar
Pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar...!
MERDEKA!!!.
Pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar...!
MERDEKA!!!.
Walaupun sudah 70 tahun lebih berlalu, getaran hati selalu terasa ketika kita mendengarkan pidato Sutomo (Bung Tomo) yang membangkitkan semangat jihad arek-arek soroboyo dalam pertempuran melawan pasukan Inggris (NICA). Pidato singkat tapi membuat para pejuang terbakar semangatnya.
Perjuangan bung Tomo tidak akan terlupakan bagi bangsa Indonesia, semangat seorang pemuda yang mampu membakar semangat setiap hati pribumi, orang terpelajar bahkn para ulama. Menjadikan Surabaya sebagai salah satu tempat perlawan pribumi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Sebelum Bung Tomo berpidato pada tanggal 9 November 1945, beliau tidak serta merta memaparkan kehendaknya sendiri. Sejarah mencatatkan bahwa beliau berkunjung ke Jombang untuk bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat Rois Akbar Nahdatul Ulama. Bung Tomo meminta izin membacakan pidatonya sebagai resolusi jihad umat muslim Indonesia.
Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci atau jihad.
Kita lihat betapa besarnya dampak perktaan Bung Tomo, mampu memukul mundur tentara Inggris setelah tiga minggu bertempur habis habisan mempertahankan kehormatan bangsa yang baru saja merdeka ketika itu.
Bung Tomo memiliki keikhlasan hati sebagai pemuda yang bertanggung jawab terhadap bangsanya dan memiliki cara yang tepat untuk menggerakkan hati para pejuang.
Menggandeng tokoh tokoh besar untuk melawan para kolonial, meminta tuntunan dan dukungan kepada para Ulama dan para Kyai yang sangat berpengaruh dalam pergerakan perjuangan pada 10 November 1945 .
Sejarawan William Frederick (1989: 252) menyebut Bung Tomo “bukan seorang yang fanatik agama” namun di saat yang sama “menganggap faktor Islam itu sangat penting”.
Latar belakang Bung Tomo bukan dari pendidikan pondok pesantren akan tetapi beliau sangat mematuhi tradisi-tradisi yang biasa dilakukan santri. Seperti, melafadzkan kalimat Bahasa Arab, shalat, dan puasa sunnah. Kelebihannya lagi, ia mengerti hal yang mampu membangkitkan semangat pemuda Surabaya.
Di samping pekik ‘merdeka’, penutup pidatonya ialah takbir. Selain menunjukkan bahwa ia memandang perang tersebut memiliki makna spiritual, ini juga medium untuk menarik atensi kalangan Muslim di seantero Jawa Timur. “ Andai tak da takbir , saya tidak tahu dengan cra pa membakar semangat para pemuda untuk melawan penjajah “ kata Bung Tomo.
Sekarang kita kehilangan sosok seperti Bung Tomo yang membangkitkan semangat juang para pemuda. Sekarang, kita membutuhkan “bung tomo-bung tomo” baru yang bisa membakar semangat anak-anak muda untuk berjuang melawan kebodohan.
Pemuda yang cerdas akan tetapi tidak melupakan orang penting di sekelilingnya. Dan jauh dari kepentingn pribadi yang hanya menguntungkan sebelah pihak saja. Jangan lupakan sejarah.
Bung Tomo memang bukan tentara bersenjata untuk melawan musuh. Namun, sumbangan terbesarnya kepada Indonesia ialaah merdeka, sebagaimana dikatakan salah satu pejuang di Surabaya, bahwa selama pertempuran di Surabaya ia justru lebih bermanfaat sebagai propagandis di studio radionya dibandingkan dengan di bertarung di jalan.
Generasi milenial sekarang harus membaca sejarah. Khususnya sejarah Bung Tomo yang membakar pemuda. Kita tidak pernah jumpa Bung Tomo, tapi kita wajib meneruskan semangat juang.
Semangat juang untuk membebaskan NKRI dari kebodohan. Dengan kenal sejarah, kita terbakar semangat membangun ilmu pemuda milenial.
Post a Comment